JERAT SUAP APARAT PENEGAK HUKUM

Oleh Irwan P. Ratu Bangsawan
MASIH segar dalam ingatan kita kasus suap yang menjerat mantan Kabareskrim Polri Komjen Pol Suyitno Landung dan mantan Jaksa Urip Tri Gunawan. Keduanya akhirnya mengakhiri karir mereka di balik jeruji penjara. Karir gemilang yang pernah mereka rintis dengan susah payah akhirnya sirna karena terjerat kasus suap. Suyitno tersandung kasus penyuapan dalam perkara pembobolan Bank BNI melalui Letter of Credit (L/C) fiktif senilai 1,7 triliun rupiah, sedangkan Urip tertangkap tangan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) menerima uang suap Arthalyta Suryani senilai US$ 660 ribu atau Rp 6 miliar.
Kasus Suyitno dan Urip hanyalah puncak gunung es dari kasus suap aparat penegak hukum. Sejatinya, terungkapnya berbagai kasus tersebut dapat memberikan efek jera kepada aparat penegak hukum yang masih mencoba-coba untuk bermain api suap. Namun, kenyataannya hari demi hari publik selalu disuguhi dengan terungkapnya perilaku menyimpang aparat yang dipercaya untuk mengawal dan menegakkan hukum tersebut.
Para penegak hukum yang berperilaku menyimpang tersebut nampaknya tidak mengenal kata kapok. Terakhir, tertangkap tangannya hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta Ibrahim dan pengacara Adner Sirait oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi pembenar bahwa tindakan keras terhadap pelaku dan penerima suap tidak membuat mereka jera dan malu.
KPK menengarai dugaan kasus suap oknum hakim Ibrahim dan pengacara Adner berpangkal pada sengketa tanah. Sengketa itu melibatkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan sebuah perusahaan berinisial PT SG. Ibrahim diduga menerima suap sebesar Rp 300 juta dari Adner terkait kasus yang bergulir di PTTUN, Jakarta. KPK menjerat Ibrahim dengan pasal 6 ayat (2) dan/atau pasal 12 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan Adner dijerat pasal 6 ayat (1) dan/atau pasal 15 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kegagalan Pemberantasan Korupsi
Korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain. Korupsi selain telah merugikan negara, juga telah merugikan rakyat. Kerugian tersebut mencakup hak-hak konstitusional bangsa, seperti bidang ekonomi, sipil, politik, sosial hingga budaya. Moralitas dan masa depan bangsa dipertaruhkan, jika kerupsi terus menggurita dan tak dapat dituntaskan.
Korupsi berawal dari tiga masalah mendasar yaitu regulasi, penegakan hukum, dan sumber daya manusia. Regulasi yang buruk dan sistem birokrasi yang cenderung tidak akuntabel merupakan celah terjadinya korupsi. Sedangkan penegakan hukum yang masih tebang pilih (diskriminatif) juga tidak bisa diharapkan untuk memberantas korupsi karena masih dikendalikan oleh penguasa yang tidak tegas dan belum tentu bersih dari kasus korupsi. Di sisi lain, moralitas aparatur negara yang lemah dan tidak tahan godaan untuk hidup mewah menyumbang bagian yang tak kalah signifikannya dalam tumbuh suburnya perilaku korup.
Praktisi hukum Maqdir Ismail berpendapat bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak akan pernah berhasil jika aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasus korupsi justru melakukan korupsi. Sepanjang aparat penegak hukum bisa korupsi dalam penanganan kasus korupsi maka korupsi tidak bisa diberantas.
Berdasarkan pengalaman, penanganan perkara-perkara korupsi yang parsial atau dilakukan perorangan lebih mudah dibandingkan jika korupsi itu dilakukan secara berjamaah yang melibatkan aparat penegak hukum. Oleh sebab itu, guna mengefektifkan penanganan kasus-kasus korupsi, apakah itu yang dilakukan oleh kejaksaan atau KPK maka fungsi pengawasan di internal institusi tersebut harus bekerja optimal. Fungsi pengawasan terhadap penanganan kasus per kasus harus diperketat sebab tidak menutup kemungkinan dalam proses penanganan kasus korupsi itu, masuk pengaruh pihak-pihak tertentu yang sebenarnya memiliki kasus yang lebih besar. Selain dengan langkah itu, untuk menutup peluang terjadinya kolusi dalam penanganan perkara, sudah seharusnya budaya dalam berperkara mulai diubah dari yang selama ini hanya mencari menang dengan budaya mencari keadilan.
Upaya pemberantasan korupsi, termasuk suap, bukanlah perkara mudah sebab korupsi sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat kita. Budaya korupsi seakan memperoleh lahan yang subur karena sifat masyarakat kita sendiri yang lunak sehingga permisif terhadap berbagai penyimpangan perilaku dalam kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, korupsi senantiasa dianggap sebagai perkara biasa yang wajar terjadi dalam kehidupan para penguasa dan pengelola kekuasaan yang ada. Singkat kata, sejak dahulu memang para penguasa dan pengelola kekuasaan selalu cenderung korup. (*)
IRWAN P. RATU BANGSAWAN
Peminat Kajian Politik dan Perilaku Aparatur Negara

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama