MEGAWATI, KOALISI, DAN OPOSISI

Oleh Irwan P. Ratu Bangsawan

PASCA Kongres ke-3 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) pada 6-9 April 2010 yang lalu, Megawati yang terpilih kembali menjadi ketua Umum PDI Perjuangan untuk lima tahun ke depan harus menuntaskan isu dikotomi koalisi dan oposisi PDI Perjuangan terhadap pemerintahan Presiden Yudhoyono. Walaupun pada kongres tersebut Megawati berkali-kali menegaskan sikap oposisi partainya, masuknya Tjahyo Kumolo (sekretaris jendral) dan Emir Moeis (ketua) dalam struktur kepengurusan partai, menimbulkan tanda tanya besar. Pasalnya, di kalangan internal partai kedua nama tersebut dikenal dekat dengan Taufik Kiemas, tokoh senior partai yang menggadang-gadang rencana koalisi PDI Perjuangan dan Partai Demokrat. Walaupun rencana tersebut ditentang keras Megawati, Kiemas tetap bergeming dan terus melontarkan wacana koalisi tersebut.
            Pilihan antara harus berkoalisi atau tetap mempertahankan oposisi merupakan pilihan yang sulit bagi PDI Perjuangan di masa mendatang. Partainya wong cilik ini bakal kesulitan membangun soliditas partai sebab pengurus yang baru saja dilantik, belum lagi bekerja telah terpolarisasi dalam dua kutub yang secara diametral bertentangan, yaitu kutub ideologis dan pragmatis. Bagi kelompok pragmatis, sikap oposisi bukanlah harga mati sebab mereka tak menutup jalan bagi koalisi dengan pemerintah yang berkuasa. Namun, Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, yang mewakili kelompok ideologis, tak tertarik wacana tersebut.
Pertentangan ini memang tidak akan dilakukan secara terbuka ke publik, tetapi akan membentuk faksi-faksi yang akan menggerogoti partai. Megawati harus terus mencermati perkembangan internal partai ini dan perlu memperbaiki keruwetan internal tersebut.
            Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti, mengatakan pertentangan antara kelompok pragmatis dan ideologis itu perlu diselesaikan. Cara ekstrim menekan pertentangan antar kelompok di internal PDI Perjuangan adalah dengan memperkuat kewenangan Ketua Umum PDI Perjuangan. Penguatan wewenang itu untuk mengatasi konflik internal partai tersebut. Apalagi, pertentangan antara kelompok ideologis dengan pragmatis kian memuncak. Tujuannya jelas, untuk mempertahankan garis politik partai hingga 5 tahun mendatang.
Partai Penyeimbang
            Bagi rakyat, pilihan antara koalisi dan oposisi bukanlah hal yang istimewa dan harus diributkan. Tuntutan mereka adalah PDI Perjuangan memiliki program yang jelas dan mampu menyejahterakan mereka. Namun, patut juga dicatat bahwa politik cenderung korup, apalagi jika politik tersebut cenderung monolitik dan tidak ada kontrol dari oposisi.
            Pilihan PDI Perjuangan untuk tetap menjadi oposisi, misalnya, harus didukung penuh oleh anggota dan pengurus. Keberadaan oposisi dapat memperkuat sistem keseimbangan dalam kekuasaan dan juga dapat memperkuat sistem kontrol dalam pelaksanaan pemerintahan. Pragmatisme yang diusung oleh sebagian pengurus, dapat diduga karena mereka lebih mementingkan syahwat kekuasaan belaka.
Hanya saja ke depan, sikap oposisi PDI Perjuangan harus dibarengi dengan kematangan dalam memahami budaya politik Indonesia sebab hingga saat ini posisi sebagai oposisi masih sangat tidak menguntungkan partai yang mengklaim mewarisi ajaran Bung Karno ini. Hal ini disebabkan karena pluralisme di Indonesia tidak didukung dengan matangnya dalam berdemokrasi. Sikap oposisi akan berjalan efektif dalam mengontrol pemerintahan yang berkuasa jika sistem demokrasinya sudah berjalan bagus dan matang. Oleh sebab itu, PDI Perjuangan harus mendorong agar Indonesia yang pluralis, juga matang dalam berdemokrasi, sehingga penerapan sistem oposisi di negara ini tidak  bersifat setengah-setengah.
Untuk itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan PDI Perjuangan, yaitu: Pertama, PDI Perjuangan harus mampu merumuskan posisi dan langkah strategis mereka sebagai partai oposisi, sebab pilihan sebagai oposisi sama pentingnya bagi negara ini jika dibanding dengan posisi sebagai penguasa. Kedua, harus mampu menghasilkan program-program yang pro rakyat dan terlepas dari kepentingan pribadi para pengurusnya. Ketiga, harus memperkuat landasan ideologi partai dan mengaplikasikannya dalam pengelolaan partai dan pengelolaan negara. Keempat, harus mengedepankan sistem kepemimpinan yang baik untuk menghasilkan pemimpin yang berbobot; Kelima, harus mampu menghasilkan kader-kader yang potensial dan memiliki militansi yang tinggi (***)
 
IRWAN P. RATU BANGSAWAN
Peminat Kajian Politik dan Perilaku Aparatur Negara

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama