Terorisme Masih Mengancam Indonesia


Pasca-tewasnya tokoh terorisme papan atas Dr. Azahari, Noordin M. Top, Syaifudin Zuhri, dan Syahrir ternyata aktivitas terorisme masih menggeliat. Ini ditandai dengan penggrebekan pusat latihan teroris di Aceh. Belum juga kontroversi penggerebekan teroris di Aceh mereda, Selasa (9/3) lalu, pihak kepolisian (Densus 88) tiba-tiba kembali melakukan penggrebekan, tepatnya di Warnet Multiplus, Pamulang, Tangerang. Dalam penggrebekan itu, Densus 88 berhasil menewaskan 3 orang teroris, satu di antaranya dipastikan adalah Dulmatin alias Joko Pitono yang merupakan gembong teroris yang dicari-cari oleh Pemerintah Amerika Serikat. Kematian Dulmatin ini bahkan dikonfirmasikan langsung oleh Presiden Yudhoyono di sela-sela pidatonya di Parlemen Australia pada Rabu kemarin (10/3).
Fenomena terorisme sejatinya bukanlah hal yang baru. Setidaknya, terorisme modern meningkat sejak dasawarsa 1970-an. Terorisme dan teror telah berkembang dalam sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya. Menurut Amien Rais, terorisme modern mengandung beberapa karakteristik, yaitu 1) ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan, 2) keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat mungkin, 3) tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap terorisme yang sudah dilakukan, 4) serangan terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi.
Munculnya terorisme tak terlepas dari kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme/liberalisme dan tumbuhnya gerakan-gerakan demokrasi serta HAM, di samping munculnya kebangkitan fundamentalis agama.
Terorisme yang terjadi di Indonesia pada dasawarsa terakhir ini tidak terlepas dari adanya kebangkitan fundamentalis Islam yang dimotori Jamaah Islamiyah (JI). Jamaah Islamiyah berarti "Kelompok Islam" atau "Masyarakat Islam". Menurut informasi intelijen, JI mendapat bantuan keuangan dari kelompok teroris lain seperti Abu Sayyaf dan al-Qaeda. JI dicurigai melakukan aksi pengeboman Bali 2002 pada tanggal 12 Oktober 2002. Dalam serangan ini, pelaku bom bunuh diri dari JI disebut-sebut menewaskan 202 orang dan melukai beberapa lainnya di sebuah nightclub. Setelah serangan ini, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan JI sebagai pelakunya dan menyatakannya sebagai Organisasi Teroris Asing. JI juga dicurigai melakukan pengeboman Zamboanga, pemboman Metro Manila, dan pemboman kedutaan Australia 2004 di Jakarta.
Aceh dan Tanzim Qhoidatul Jihad
Pada 2005 JI mengalami perpecahan. Sempalan JI diduga menjalin hubungan dan menjadi kepanjangan tangan jaringan teroris Al Qaeda di Asia Tenggara. Teroris Aceh yang digrebek Densus 88 Selasa kemarin patut diduga bukanlah pemain baru, mereka kelompok lama yang masih ada hubungan dengan kelompok Noordin M. Top dan Al Qaeda.
Menurut pengamat terorisme Al Chaidar kelompok Aceh merupakan pecahan JI, mereka terpecah karena masalah keorganisaian. JI, menurut dia, tidak mau mengakui setiap sepak terjang kelompok yang dinamai Tanzim Qhoidatul Jihad ini. Banyak dari anggota mereka yang tertangkap tidak pernah diakui sebagai anggota JI sejak konflik internal tersebut. Kelompok sempalan ini mempunyai agenda sendiri yang terlepas dari JI. Menurut Al Chaidar, selama ini mereka kesulitan memperoleh dana untuk membiayai kegiatan mereka. Oleh karena itu, selain pembiayaan gerakan mereka diperoleh dari sumbangan jamaah mereka, mereka juga tak segan-segan melakukan perampokan guna melanjutkan aktivitas gerakan mereka
Walau terkesan dipaksakan, pasalnya isu ini muncul saat antiklimaks kasus skandal Bank Century yang dibawa ke Sidang Paripurna DPR dan menghasilkan keputusan melalui voting ‘Opsi C’ (bahwa bailout Century bermasalah), isu terorisme patut tetap diwaspadai oleh masyarakat. Terlepas dari permainan politik yang mungkin menunggangi kemunculan isu tersebut, faktanya masyarakat sangat dirugikan dengan adanya aktivitas terorisme tersebut. Terorisme, nampaknya belum mau angkat kaki dan masih mengancam sendi-sendi kehidupan negara ini. Oleh sebab itu, perburuan teroris harus semakin diintensifkan oleh pihak kepolisian.
Namun, perburuan tersebut, sebagaimana dikatakan anggota DPR dari Fraksi PKS Nasir Djamil, seharusnya untuk melindungi rakyat dan bukan cenderung bersifat politis serta didikte Amerika dan negara Barat lainnya. 
Menurut anggota Dewan asal Aceh ini, jika perburuan teroris ini terus dipolitisasi guna mendapatkan pencitraan, maka terorisme akhirnya hanya menjadi permainan yang tak kunjung selesai.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama