MENANTI TELPON PRESIDEN TERPILIH

MENANTI TELPON PRESIDEN TERPILIH


Oleh: Irwan Pachrozi

Akhirnya lega rasanya setelah kantor kepresidenan mengumumkan bahwa yang ditugaskan untuk menelpon para calon menteri adalah Mensesneg Hatta Rajasa dan Menseskab Sudi Silalahi. Mengapa lega? Yah, artinya kejadian seperti lima tahun yang lalu, yaitu banyaknya para “calon” menteri yang datang ke Cikeas, karena mendapat telpon – yang katanya dari presiden terpilih – tidak akan terulang kembali. Saya ingat benar ada satu kejadian di mana seorang incumbent menteri kabinet Megawati datang ke Cikeas karena “ditipu’ seseorang yang tidak bertanggung jawab. Ia datang ke Cikeas, padahal SBY nggak ngundang-ngundang dia. Kan, berabe jadinya.

Konon kabarnya tradisi menelpon para calon menteri dimulai pada era Presiden Soeharto. Ketika itu, setelah Sidang Umum MPR, banyak tokoh-tokoh politik ternama berdebar-debar jantungnya apakah akan ditelpon Soeharto ataukah tidak. Yang mendapat telpon segera berbunga-bunga hatinya, sedangkan yang tidak kebagian ditelpon, berharap lima tahun mendatang akan ditelpon. Atau, setidak-tidaknya Soeharto akan mengeluarkan keppres tentang pengangkatan sebagai anggota DPA, anggota ini, dan anggota itu, atau anggota apa saja. Pokoknya asal pakai keppres sudah senanglah hatinya. Nah, lo!

Tradisi tersebut diteruskan oleh presiden-presiden setelah Soeharto. Nah, sebelum tanggal 20 Oktober 2009 ini diharapkan Presiden Terpilih Yudhoyono telah merampungkan proses telpon-menelpon dengan para calon menteri, baik yang dari koalisi maupun yang dari kalangan profesional, atau dari kalangan apa pun deh namanya. Yudhoyono juga dijadwalkaqn akan mengadakan fit dan proper test. Kok, bisa ya calon menteri harus dites segala kayak mau jadi CPNS saja. Kalau mau jadi CPNS, pada bulan Oktober ini memang sedang getol-getolnya dikobarkan semangat berani dites. Kalau mau jadi anggota KPK, ya harus berani dites juga, Mau jadi anggota BPK sami mawon. Lah, kalau mau jadi menteri kok harus dites. Saya dalam hati jadi bertanya-tanya sebenarnya syarat jadi menteri itu apa sih? Apakah harus S1 dan memiliki indeks prestasi kumulatif lebih dari atau sama dengan 3.00? Atau harus berpengalaman dan cakap? Atau, atau apa seh? Menurut UUD 1945, baik edisi standar maupun edisi perubahan I, II, III, dan IV, menteri adalah pembantu presiden. Sekali lagi : PEMBANTU PRESIDEN. Silahkan Anda terjemahkan sendiri arti kata yang ditulis dengan huruf kapital tersebut.

Jadi? Ya sudahlah, presiden nggak usah neko-neko pake ngetes calon menteri segala. Gunakan hak prerogatif yang telah diberikan konstitusi dengan sebaik-baiknya dan sebijak-bijaknya. Kalau hak prerogatif tersebut telah digunakan, maka presiden terpilih tidak perlu takut untuk mengangkat atau untuk tidak mengangkat seseorang pada jabatan menteri. Sebaliknya, presiden juga tidak perlu takut untuk memberhentikan atau tidak memberhentikan seseorang pada jabatan menteri. Toh, konstitusi telah menjaminnya.

Nah, lain jadinya kalau Yudhoyono menggunakan pratik politik dagang sapi. Artinya Yudhoyono masih harus tarik menarik dengan berbagai kelompok kepentingan. Padahal, langkah tersebut sangat riskan bagi keberhasilan pembangunan pada lima tahun ke depan. Sebaiknya, presiden terpilih harus lebih elegan dan independen dalam menentukan siapa-siapa saja yang akan menjadi pembantunya.

Jadi? Jangan matikan ponsel atau telpon Anda dan pastikan bahwa yang menelpon adalah Hatta Rajasa dan Sudi Silalahi. Anda tertarik mau jadi menteri? Saya sendiri sudah beberapa hari ini selalu memastikan bahwa ponsel saya selalu on dan bersinyal oke. Saya sedang menunggu telpon teman yang mau menjual beberapa bidang kebunnya. Kok?



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama