STUDI BANDING VS PELESIRAN KE LUAR NEGERI


ANGGOTA DPR semakin tidak terkendali lagi walau berbagai kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat bertubi-tubi diarahkan ke wajah mereka. Setelah hiruk pikuk masalah dana aspirasi dan rencana pembangunan gedung baru, episode drama baru dengan tajuk “studi banding ke luar negeri” pun di mulai.

Anggapan bahwa anggota DPR RI tidak memiliki naluri prorakyat dan memahami penderitaan konstituennya menemukan pembenaran dengan mengemukanya rencana studi banding tersebut. Menurut rencana, Komisi IV akan berkunjung ke Belanda dan Norwegia berkaitan penyusunan RUU Hortikulkura. Sementara Komisi X akan studi banding ke Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Jepang dalam rangka penyusunan RUU Pramuka.

Studi banding anggota Komisi IV dan X DPR RI ke luar negeri pada September hingga Oktober ini ditengarai menelan biaya tidak tanggung-tanggung yaitu sebesar Rp 3,7 milyar dengan rincian studi banding ke Belanda menghabiskan Rp 766.102.400, Norwegia Rp 877.054.400, Afrika Selatan Rp 795.064.000, Jepang Rp 640.504.000, dan Korsel Rp 611.662.000.

Studi banding dirasa memang adalah sebuah hal yang perlu untuk dilakukan. Apalagi bagi sebuah negara yang masih berkembang seperti Indonesia, studi banding dapat dijadikan momentum untuk belajar dari negara-negara maju bagaimana mereka mengelola berbagai bidang tersebut sehingga dapat mencapai kesuksesan dan kemajuan dalam bidang tersebut. Secara hukum, memang tidak ada yang salah dengan kegiatan tersebut. Apalagi jika kunjungan tersebut dikaitkan dalam rangka menjalankan program kerja legislatif dan dilakukan semata-mata untuk keperluan legislatif yang terkait dengan kepentingan rakyat dan negara. Namun, dalam banyak kasus terkadang kita dibuat miris dan kesal sebab studi banding DPR ternyata dilakukan tidak dalam kebutuhan yang benar-benar mendesak dan lebih terkesan jalan-jalan atau pelesir semata.

Pelesiran yang Mahal

Tudingan bahwa kunjungan DPR ke luar negeri lebih ke pelesirannya dari pada ke studi bandingnya dapat dilihat dari tidak adanya akuntabilitas dan tranparansi hasil kunjungan anggota DPR tersebut. Padahal rakyat berharap bahwa studi banding tersebut dilaksanakan dengan harapan ketika mereka kembali, mereka akan melakukan sesuatu yang bermanfaat dan membangun untuk bidang yang telah dilakukan studi bandingnya. Harapannya adalah negara kita bisa meniru manajemen untuk mencapai kesuksesan yang telah diaplikasikan oleh negara-negara lain.

Namun nampaknya, harapan nampak hanya tinggal harapan belaka. Kompasiana.com mengungkapkan bahwa harapan seperti itu hanyalah sebuah utopia untuk sebuah negara sekelas Indonesia dengan wakil rakyatnya. Wakil rakyat memang selalu dengan mudah mengajukan wacana untuk melakukan studi banding, entah itu untuk pengurusan haji, pendidikan, ataupun pramuka seperti sekarang. Namun, apa hasilnya hingga sekarang? Adakah peningkatan dalam berbagai bidang tersebut yang telah dilakukan studi bandingnya?

Nyatanya studi banding tidak menghasilkan apa-apa, kecuali kesenangan semu yang digapai oleh wakil rakyat karena bisa jalan-jalan keluar negeri dengan gratis karena itu semua dibiayai dari pajak dan juga utang luar negeri. Lalu ketika mereka kembali, yang dibawa hanyalah sejuta cerita tentang negeri tetangga tanpa adanya tindak lanjut yang jelas terhadap bidang yang dilakukan studi bandingnya. Ketika hal ini terjadi, maka akan timbul pertanyaan, apakah studi banding masih bermanfaat? Tidakkah itu hanyalah sebuah pemborosan anggaran? Akhirnya, dapatlah kita simpulkan bahwa inilah drama pelesiran yang mahal yang dibiayai dengan uang rakyat yang diperankan oleh anggota dewan yang terhormat tersebut.

Ketua DPR RI Marzuki Alie boleh saja membantah tudingan miring di atas. Boleh saja dia berkilah bahwa studi banding yang dilakukan anggota DPR ke lima negara di Asia, Eropa, dan Afrika harus dilihat dari sisi pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan bukan dari sisi biayanya. Namun, faktanya rakyat telah tersakiti dengan perilaku penghambur-hamburan uang negara tersebut.

Anggota DPR sejatinya telah mengabaikan spirit dan komitmen sebagaimana yang telah digariskan oleh pimpinan DPR, terkait dengan optimalisasi waktu anggota DPR untuk fungsi legislasi. Untuk diingat pada tahun 2010 ini DPR menargetkan menghasilkan 70 Undang-undang, tapi kenyataannya DPR baru merelealisasikannya kurang dari 10 persen. Belum lagi UU yang dihasilkan tersebut masih sangat jauh dari maksimal. Banyaknya RUU yang belum terselesaikan menjadikan utang parlemen terhadap proses legislasi itu makin lama makin menumpuk. Seharusnya, dengan waktu tersisa yang sangat sempit ini DPR lebih fokus membahas RUU daripada melakukan studi banding yang menghabiskan waktu dan anggaran (***)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama