Masa kanak-kanak adalah waktu yang penuh dengan kenangan indah, terutama bagi mereka yang dibesarkan di desa kecil seperti saya. Di Desa Lalang, yang kini dikenal sebagai Desa Lalang Sembawa, saya dan teman-teman sering menghabiskan waktu bermain di alam terbuka pada era 1970-an. Salah satu kenangan yang paling membekas adalah saat kami memetik dan memakan buah Senduduk, atau yang dikenal juga sebagai Senggani. Buah kecil berwarna ungu tua ini bukan hanya sekadar camilan, tetapi juga simbol kebersamaan dan petualangan masa kecil kami. Senduduk, dengan bunganya yang berwarna ungu muda, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kami di desa.
Senduduk, yang memiliki nama ilmiah Melastoma malabathricum (sebelumnya sering disebut Melastoma normale), adalah tanaman perdu yang banyak ditemukan di daerah tropis, termasuk Indonesia. Tanaman ini biasanya tumbuh liar di tepi hutan, pinggir jalan, atau lahan kosong yang terkena sinar matahari cukup. Di Desa Lalang, Senduduk tumbuh subur di sekitar sawah dan kebun warga, menjadi pemandangan yang akrab bagi kami. Daunnya yang hijau mengilap dan bunganya yang ungu muda menambah keindahan alam desa kami, sementara buahnya menjadi daya tarik tersendiri bagi anak-anak seperti saya.
Secara taksonomi, Senduduk termasuk dalam klasifikasi ilmiah sebagai berikut:
- Kingdom: Plantae
- Divisi: Magnoliophyta
- Kelas: Magnoliopsida
- Ordo: Myrtales
- Famili: Melastomataceae
- Genus: Melastoma
- Spesies: Melastoma malabathricumTanaman ini dikenal dengan nama yang berbeda di berbagai daerah di Indonesia, seperti Senggani, Harendong, atau Kluruk, tergantung pada dialek setempat. Nama "Senduduk" sendiri lebih sering digunakan di wilayah Sumatera dan Jawa.
Buah Senduduk memiliki ciri khas yang unik. Ketika matang, buahnya berwarna ungu tua hingga hampir hitam, dengan daging buah yang lembut dan sedikit berair. Rasa buah ini manis dengan sedikit rasa sepat, memberikan sensasi yang menyegarkan saat dimakan langsung dari pohonnya. Bagi kami, anak-anak di Desa Lalang, memetik buah Senduduk adalah aktivitas yang menyenangkan. Kami sering berlomba untuk menemukan pohon dengan buah yang paling banyak, lalu duduk bersama di bawah pohon sambil menikmati hasil petik kami. Tangan dan bibir kami sering berwarna ungu karena sari buah yang menempel, tetapi itu semua menjadi bagian dari keseruan.
Selain menjadi camilan alami, Senduduk ternyata memiliki berbagai manfaat kesehatan yang baru saya ketahui setelah dewasa. Buah Senduduk mengandung antioksidan, terutama antosianin, yang memberikan warna ungu pada buahnya. Antioksidan ini bermanfaat untuk melawan radikal bebas dalam tubuh, sehingga dapat membantu mencegah berbagai penyakit degeneratif. Selain itu, buah ini juga mengandung vitamin C yang baik untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Di beberapa daerah, buah Senduduk juga digunakan sebagai obat tradisional untuk mengatasi diare atau masalah pencernaan ringan.
Tidak hanya buahnya, bagian lain dari tanaman Senduduk juga memiliki manfaat. Daun Senduduk, misalnya, sering digunakan dalam pengobatan tradisional untuk meredakan luka atau peradangan. Daunnya yang telah ditumbuk halus dapat ditempelkan pada luka kecil untuk mempercepat penyembuhan, berkat sifat antibakteri dan anti-inflamasi yang dimilikinya. Di beberapa budaya, ekstrak daun Senduduk juga digunakan untuk mengatasi masalah mulut seperti sariawan. Sementara itu, akar tanaman ini kadang dimanfaatkan untuk meredakan nyeri atau demam, meskipun penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan pengetahuan yang tepat.
Meskipun memiliki banyak manfaat, Senduduk juga memiliki beberapa hal yang perlu diperhatikan. Buah ini sebaiknya tidak dikonsumsi dalam jumlah berlebihan karena rasa sepatnya yang berasal dari tanin dapat menyebabkan gangguan pencernaan jika terlalu banyak. Selain itu, karena tanaman ini sering tumbuh liar, kita perlu memastikan bahwa buah yang dipetik bebas dari pestisida atau polutan lingkungan. Di Desa Lalang pada masa itu, kami tidak terlalu memikirkan hal ini karena lingkungan kami masih sangat alami, tetapi di era modern seperti sekarang, kehati-hatian sangat diperlukan.
Senduduk juga memiliki peran ekologis yang penting. Tanaman ini sering menjadi sumber makanan bagi berbagai jenis serangga, seperti lebah dan kupu-kupu, yang tertarik pada nektar bunganya. Buahnya juga menjadi makanan bagi burung-burung kecil, sehingga Senduduk turut mendukung keanekaragaman hayati di lingkungan tempatnya tumbuh. Di Desa Lalang, keberadaan Senduduk tidak hanya memberikan manfaat bagi kami sebagai anak-anak, tetapi juga bagi ekosistem sekitar. Pohon-pohon Senduduk yang tumbuh di pinggir pinggir hutan atau di belakang rumah menjadi tempat berteduh bagi burung kecil, sekaligus menambah keindahan pemandangan desa.
Namun, seiring berjalannya waktu, keberadaan Senduduk di Desa Lalang Sembawa mulai berkurang. Perubahan tata guna lahan, urbanisasi, dan penggunaan lahan untuk pertanian modern membuat tanaman liar seperti Senduduk sering dianggap sebagai gulma dan dibersihkan. Padahal, tanaman ini memiliki nilai budaya dan ekologi yang tinggi. Saya merasa sedih saat sudah kesulitan untuk menemukan pohon Senduduk yang tersisa. Kenangan masa kecil saya seolah ikut memudar bersama hilangnya tanaman ini.
Senduduk bukan sekadar tanaman liar bagi saya; ia adalah bagian dari identitas masa kecil saya di Desa Lalang. Buahnya yang eksotis, dengan warna ungu tua yang menggoda, telah mengajarkan saya tentang keindahan sederhana alam dan pentingnya menjaga lingkungan. Saya berharap generasi mendatang masih bisa mengenal dan menikmati buah Senduduk, bukan hanya dari cerita, tetapi juga dari pengalaman langsung seperti yang saya alami dulu. Mari kita jaga tanaman-tanaman liar seperti Senduduk, karena mereka bukan hanya bagian dari alam, tetapi juga bagian dari sejarah dan budaya kita (***)

Posting Komentar